Tujuh Kesalahan dalam Menggali Potensi Anak

Tujuh Kesalahan dalam Menggali Potensi Anak

Siapapun, di manapun, dan kapanpun, yang namanya orang tua tentunya ingin agar anak-anaknya berkembang sesuai bakat dan potensinya. Banyak orang tua yang berharap  anaknya meraih prestasi, baik di tingkat nasional, bahkan internasional.

Masalahnya, sedikit sekali orang tua yang mengetahui dan memahami cara mengembangkan bakat anak. Akibat ketidaktahuan itu,  banyak anak yang sebenarnya mempunyai potensi besar, tapi kemudian bertumbuh menjadi anak yang biasa-biasa saja, bahkan tak jarang bingung mencari kerja setelah selesai pendidikan.

Bukik Setiawan, pendiri komunitas Indonesia bercerita dan aktivis pendidikan anak, mengatakan, ada tujuh kesalahan yang sering dilakukan orang tua, sehingga bakat dan potensi anak tidak berkembang optimal.

Ditulis di laman miliknya temantakita.com, dan juga ditulis di bukunya Bakat Bukan Takdir (2016), tujuh kesalahan orang tua itu:

Pertama, kurang memberi stimulasi yang beragam dan memadai. Anak menggunakan  kemampuannya sebatas pada aktivitas yang monoton. Tanpa stimulasi yang beragam dan memadai, anak kurang mempunyai kesempatan untuk mengekspresikan potensinya. Tanpa kesempatan tersebut, orang tua dan anak sendiri akan gagal mengenali potensinya. Misal, tanpa stimulasi bermusik, maka anak tidak bisa menunjukkan kecerdasan musiknya.

Kedua, kurang atau tidak mengenal potensi anak. Alih-alih memberi stimulasi dan mengamati perilaku anak, banyak orang tua (dan guru) memilih jalan pintas dengan mengikuti tes potensi anak. Tes potensi yang fungsi sebenarnya alat bantu justru menjadi alat utama. Orang tua mungkin mengetahui, tapi tidak mengenal dengan baik potensi anak. Akibatnya, orang tua kurang tekun dalam mengembangkan potensi anak.

Ketiga, tidak mengkomunikasikan potensi anak kepada anak. Beberapa orang tua mengetahui dan mungkin mengenal potensi anaknya, tapi tidak mengkomunikasikannya kepada anak. Anak sebagai pemilik potensi justru tidak mengenal potensi dirinya. Jadi sehebat apapun, tak berguna bila anak tidak menyadari apa kehebatannya.

Keempat, tidak membantu anak menemukan bakat sebagai fokus belajar. Tanpa fokus belajar, anak belajar secara meluas tapi dangkal. Anak belajar banyak hal, tapi tidak menjadi ahli di bidang bakat apapun. Tanpa fokus belajar yang dibuat anak, maka belajar menjadi paksaan terhadap diri, karena tuntutan lingkungan eksternal.

Kelima, terlalu memaksa anak belajar sehingga anak membenci belajar. Banyak orang tua (dan guru) mewajibkan anak belajar, tapi tak mau belajar cara membuat anak gemar belajar. Anak yang sejak lahir sebagai pembelajar pun akhirnya belajar untuk membenci dan menghindari belajar. Tak belajar bila tak ada ujian.

Keenam, orang tua terlalu berorientasi pada hasil belajar, sehingga mengabaikan ketekunan belajar anak. Ketika yang dihargai adalah hasil, bukan usaha, maka anak tidak belajar untuk menekuni suatu bidang bakat. Anak justru belajar mencapai hasil belajar dengan berbagai cara. Apapun dilakukan selama bisa menjadi juara.

Ketujuh, menilai hasil belajar anak hanya dari nilai ujian dan ijasah. Nilai ujian mungkin penting, tapi nilai tukarnya terbatas. Ijasah  mungkin  penting, tapi membuat anak mengalami ketergantungan. Anak yang mempunyai ijasah SMA tergantung pada perguruan tinggi dan lowongan kerja bagi lulusan SMA. Bukannya menjadi pribadi mandiri yang percaya diri, anak justru menjadi manusia yang tergantung pada pihak lain.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.