Jangan Sepelekan Perasaan Anak

Jangan Sepelekan Perasaan Anak

Seorang anak kecil berlari masuk ke dalam rumah, terburu-buru menemui ibunya yang sedang berada di kamar. “Ibu, ada capung nempel di dinding. Ihhh…takut.” Ibu dengan serta-merta menjawab, “Ah, tidak apa. Itu kan hanya capung.” Ibu kembali melanjutkan pekerjaannya mencari sesuatu di dalam lemari.

Seorang anak laki-laki usia tujuh tahun terjatuh dari sepeda, lututnya luka dan berdarah. Dengan terpincang-pincang sambil mengaduh, ia menyeret kakinya masuk ke halaman rumah. Ayahnya yang sedang membaca koran di teras melihatnya sekilas, dan bertanya, “Kakinya kenapa?”

Sambil berurai air mata si anak menjawab, “Jatuh, Yah dari sepeda.” Ayah melanjutkan kembali menatap koran di depannya sambil bergumam, “Ah, tidak apa. Anak laki-laki harus kuat. Tidak boleh cengeng.” Si anak makin kencang menangisnya.

Dialog-dialog di atas sangat umum kita jumpai dalam kejadian sehari-hari. Nyaris tiada hari terlewat tanpa percakapan-percakapan serupa contoh di atas.

Sepintas lalu tampak biasa saja, karena model percakapan beginilah yang kerap orang tua lakukan dengan anak-anak mereka. Akan tetapi jika kita cermati, ada hal tersirat yang terkandung di sana.

Dalam contoh percakapan tersebut terkandung ketidakpercayaan orang tua pada apa yang terjadi pada perasaan anak. Perasaan anak disepelekan, seakan tidak penting di mata orang tua. Anak seolah tidak selayaknya memiliki perasaan takut, sakit, dan sejenisnya.

Di samping itu pula orang tua benar-benar tidak serius merespon apa yang terjadi pada anak. Kesibukan mereka jauh lebih penting daripada kejadian yang menimpa anak.

Maka yang terjadi kemudian, anak akan memendam perasaan-perasaan tersebut, dan suatu waktu akan muncul ke permukaan dalam bentuk perilaku yang bermasalah. Tujuannya tak lain dan tak bukan mencari atau menarik perhatian orang tua.

Lalu seperti apa bentuk respons yang diharapkan dari orang tua? Dalam kasus pertama, ibu perlu menyimak cerita anak dan menerima perasaan takutnya sebagai sesuatu yang wajar, bukan justru menyepelekan perasaan tersebut, karena pengalaman dalam dunia anak tentu berbeda dengan pengalaman orang tua.

Sesuatu yang tidak menakutkan dan biasa saja di mata orang tua, bagi anak belum tentu demikian. Bisa terjadi yang sebaliknya. Oleh karena itu memberikan empati dan memaklumi perasaan mereka dapat memberikan rasa aman dalam hatinya. Begitu pula dengan rasa sakit karena terluka, meskipun hanya sebuah luka ringan saja.

Menerima perasaan anak merupakan salah satu bentuk komunikasi yang sangat efektif. Tampak sepele, namun mampu menggerakkan seorang anak untuk berubah.

Hal itu mampu mengubah perasaan negatifnya menjadi lebih positif; memberikan rasa aman dalam hatinya untuk melangkah dan berbuat hal-hal lain yang bermanfaat, antara lain mencoba hal-hal baru di luar sana. Karena ia tahu, ayah ibunya mendukung kegiatannya apa pun nanti risikonya.

Masih banyak contoh-contoh kejadian sehari-hari yang perlu kita evaluasi kembali. Sudah tepatkah cara kita merespon cerita-cerita anak, sudahkah kita memberikan perhatian yang serius pada setiap apa pun kejadian yang menimpanya?

Semoga kita menjadi orang tua yang mampu melakukan perbaikan dari hari ke hari demi terciptanya jalinan kasih sayang yang kuat antara orang tua dengan anak-anaknya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.